Kemacetan di Gunung: Fenomena atau Ironi?

Sumber Foto

    Hai sobat gunung! Kegiatan pendakian gunung saat ini sudah bukan menjadi hal yang asing lagi. Seolah telah menjadi rutinitas rutin yang dilakukan sebagian orang di akhir pekan. Tak dapat dipungkiri wisata mendaki gunung menguntungkan banyak pihak, mulai dari pariwisata daerah meningkat, mata pencaharian di sekitar kawasan gunung - gunung juga berpotensi melahirkan penyedia jasa dan pelaku ekonomi. Selain itu pendapatan daerah dari sektor pariwisata gunung juga mengalami peningkatan, seiring dengan ramainya kegiatan ini ditekuni oleh siapa saja. Minat pada gunung dan pemandangan hutan menjadi sesuatu yang dirindukan. Orang - orang ingin mengatasi dirinya untuk keluar dari zona nyaman dan sesekali keluar untuk melihat apa yang ada diluar sana. Tetapi masalahnya, berapa banyak orang yang berpikiran seperti ini? Bagaimana alam dapat menampung sekian banyak pemikiran seperti ini?

    Sejauh yang kita ketahui, gunung merupakan salah satu tempat terbaik untuk menenangkan diri. Karena persepsi bahwa gunung merupakan tempat yang menyenangkan sekaligus menenangkan, tak lain dan tidak bukan karena pemandangan, iklim dan cuaca sejuk, warna hijau tumbuhan yang meningkatkan mood karena efek menenangkan, dan ramah tamah sesama manusia di gunung yang mungkin karena memiliki perasaan dan hobi yang sama. Bayangkan ketika orang - orang yang menginginkan hal seperti ini mengetahui 'hobi yang viral' dan melarikan diri ke gunung. Ketika peningkatan hobi di masyarakat tidak diiringi oleh penanggulangan kemungkinan - kemungkinan yang akan terjadi, maka lambat laun akan terjadi kekacauan. Seperti ada beberapa berita yang sebetulnya telah lama membuat saya resah, yaitu kemacetan di jalur pendakian beberapa gunung di Indonesia. Berita - berita tersebut menamakannya fenomena, tetapi apakah itu pantas disebut fenomenas? karena konteks fenomena adalah sesuatu yang luar biasa dan langka untuk disaksikan. Agak kurang pantas jika disebut demikian karena pada dasarnya hal itu merupakan masalah. Masalah yang muncul dari respon antusias dari banyak orang yang tidak diiringi oleh pengelolaan pos yang efektif, sehingga menimbulkan masalah terutama bagi ekosistem kawasan gunung.

Beberapa 'Kemacetan' yang Terjadi di Gunung

Kemacetan di Everest

    Gunung Everest sepertinya selalu menjadi topik perbincangan karena orang - orang dari seluruh dunia mempunyai hasrat untuk mencapai sesuatu yang besar, seperti berhasil mendaki gunung everest dengan selamat. Telah banyak ekspedisi yang dilakukan disana dan tak sedikit bahkan menimbulkan korban jiwa demi ambisi tersebut. Seolah tak ada yang perlu ditakuti, setiap tahun banyak orang yang mendaki gunung Everest. Tetapi karena merebaknya permintaan pendakian, beberapa tahun belakangan seperti kejadian tahun 2015, 2018 dan 2019 yang mana harus merenggang nyawa beberapa orang dikarenakan permasalahan yang sebenarnya sangat teknis, yaitu antrian menuju puncak everest dari death zone. Celah yang digunakan menuju puncak Everest sangat sempit, jadi harus mengantri. Pihak pos everest sebenarnya sudah berusaha menyediakan kuota yang sekiranya cukup untuk daya tampung gunung, karena bagi Negara Nepal, pendakian gunung merupakan pendapatan terbesar negara mereka.

Kemacetan di Beberapa Gunung di Indonesia

Tak hanya di luar negeri, di dalam negeri pun kemacetan di gunung juga terjadi di beberapa gunung di Indonesia

Sumber Foto

Gunung Prau

    Sekitar tahun 2015, 2016 dan 2018 gunung prau, terlebih lagi jalur via pathak banteng mengalami 'kemacetan' di jalur pendakian. Tidak disetiap waktu, biasanya momen - momen yang membuat gunung ramai seperti libur lebaran, HUT RI dan Dieng culture festival. Diantara permasalahan yang menyebabkan kemacetan tersebut adalah tidak dibatasinya kuota pendakian. Tercatat kemacetan yang terjadi tahun 2015 di jalur pendakian gunung prau karena terdapat sekitar 2.800 orang yang mendaki gunung. Bahkan ketika tahun 2016, kemacetan tersebut mencapai puncaknya karena bersamaan dengan momen libur lebaran, yaitu sekitar 6.000 pendaki terdapat di alun - alun puncak prau tersebut dari semua jalur pendakian. Pada tahun 2018, kejadian itu terulang kembali dan pihak pos jalur pathak banteng mengatakan sedang melakukan kajian jalur alternatif agar antrean di jalur tidak membludak. Selain itu pihak pos juga mengatakan kemacetan - kemacetan yang terjadi di gunung mulanya karena pada saat mendaki gunung dalam waktu yang tidak bersamaan, tetapi ketika turun dalam hari yang sama, saat itulah kemacetan itu terjadi.

Gunung Merbabu

    Tahun 2019 juga terjadi kemacetan di gunung Merbabu di jalur pendakian via selo. Tepatnya sekitar bulan april, kemacetan di gunung tersebut disebabkan karena momen sebelum puasa ramadhan bagi umat Islam. Selain itu penyebabnya juga karena ada 2 event besar yang berlangsung saat itu, yaitu event Arei dan Merapi Mountain di sabana 2 gunung Merbabu. Jumlahnya pun menurut pihak pos juga aktual, karena ada yang naik dan turun, jadi tidak menentu. Namun kemacetan ini terjadi semenjak dimulainya jalur pendakian dari pos hingga ke sabana 1. Namun pihak pos menyanggah dan mengatakan tetap dalam situasi kondusif dan masih dalam pantauan. Bahkan, pihak @natgeoindonesia menjadikan hal ini sebagai bahan diskusi. 

 Keramaian di Gunung

    Mungkin kemacetan di gunung merupakan suatu hal yang sudah sangat tidak wajar, karena entitas macet erat kaitannya dengan perkotaan. Tetapi mengapa hal tersebut terjadi? hal mendasar yang dapat menjawab pertanyaan tersebut adalah keramaian. Ketika terjadi keramaian di suatu tempat dalam waktu tertentu, terlebih dalam kondisi tak wajar, hal itu dapat menghilangkan esensi sebenarnya dari suatu kegiatan yang kita lakukan. Seperti yang dijelaskan di awal, anggapan bahwa gunung tempat menyenangkan sekaligus menenangkan, sarat makna, dan menjadi tempat berdialog dengan diri sendiri, semuanya terpatahkan. 
    Kini, mayoritas kondisi gunung - gunung di Indonesia di akhir pekan dipadati oleh para pendaki yang camping dan bahkan memenuhi pos - pos dan shelter yang tersedia. Alun - alun di di setiap gunung saat sekarang dipenuhi tenda - tenda, obrolan dengan volume suara yang kurang mempunyai tenggang rasa, suara alat musik dan nyanyian yang seolah tak memikirkan keramaian di gunung itu, dan juga speaker yang dibawa oleh para pendaki untuk mendengarkan musik dengan keras. Sudah tidak ada yang namanya kenyamanan dan ketenangan. Percakapan santai antara orang yang baru ditemui sudah jarang memiliki etika, hanya dipenuhi dengan candaan - candaan yang tidak etis. Semua karena sebab keramaian yang ada di gunung - gunung Indonesia saat ini. Miris memang.
    Jika melampirkan semua foto yang tersedia di internet atas unggahan dari orang - orang yang mendaki gunung, mungkin hampir semua gunung di Indonesia saat ini memperlihatkan keadaan ini. Semua orang kini merasa menjadi pendaki gunung, menjadi petualang dan ingin membuktikan eksistensi diri dengan identitas 'keren' ini. Tas besar di punggung dan sepatu boot sudah seperti kebanggaan tersendiri bagi para pendaki. Hal ini juga yang mendasari orang - orang ingin mendaki gunung. Ingin di cap kuat, gagah dan berani, mandiri serta berjiwa petualang. Tetapi dunia pendakian saat ini rasanya seperti kuah bakso di pasar, harum aromanya namun hambar rasanya.

Kemacetan di Gunung: Fenomena atau Ironi?

    Kemacetan di gunung merupakan sesuatu yang baru di Indonesia, karena jika dinalar rasanya tidak mungkin akan terjadi kemacetan di alam yang luas ini. Terlebih kemacetan tersebut terjadi karena antrean manusia. Tetapi mengapa hal tersebut dapat terjadi? Sebelum itu mari lihat mengapa tren berbasis hobi ini menjadi diikuti. Menurut penelitian bahwa seorang individu pada dasarnya tidak memiliki kendali atas pikiran dan perilaku seperti yang dia pikirkan. Hal tersebut membuat seseorang mudah mengikuti tren. Selain itu juga dikarenakan psikologi sosial dimana manusia berpikir tentang sesuatu, lalu mempengaruhi orang lain dan kehidupannya sangat berkaitan erat satu sama lain.
    Dalam penelitian yang dilakukan psikolog perancis Serge Moscovici dan Marisa Zavaloni, seseorang akan menunjukkan sikapnya terhadap suatu hal lebih lantang jika menemukan orang lain melakukan hal yang sama. Sehingga jika mendapat penguatan dari orang lain, ia akan semakin yakin dengan apa yang dipikirkan sebelumnya. Selain itu, semakin banyak orang yang melakukannya, dan semakin populer sifat atau gagasan itu, maka akan semakin meyakinkan seseorang bahwa hal yang sama baik untuk diikuti dan dilakukan.
    Seseorang juga cenderung berpikir apabila suatu hal dilakukan oleh orang lain, terlebih oleh kelompok mayoritas, itu menjadi suatu hal yang benar, baik, menguntungkan dan sebagainya. Hal itu menjadi dasar penilaian akan suatu kebenaran. Ini disebut sebagai prinsip pembuktian sosial yang banyak menentukan seseorang dalam mengambil keputusan, baik tentang apa yang harus dilakukan, dipikirkan, dikatakan dan sebagainya. Ketika kita melihat orang lain melakukannya, maka akan tumbuh keyakinan bahwa cara itu adalah cara yang benar dan bisa untuk diikuti.
    Mendaki gunung adalah sebuah hobi. Dan kegiatan ini dikonsumsi oleh media sosial menjadi suatu hal yang menarik, karena dalam satu foto terdapat cerita pendakian. Ketika hal tersebut menjadi 'konsumsi yang berlebihan', tersirat orang itu memikirkan sesuatu tentang pendakian. Dan akhirnya muncullah respon dari tindakan konsumsi yang berlebihan tadi untuk mendaki gunung. Ketika hal ini dilemparkan menjadi suatu bahan untuk dikonsumsi oleh kelompok, dan diamini oleh kelompok tersebut maka bertambahlah orang yang mendaki gunung. Kejadian ini terus menerus terulang akibat pengaruh media sosial. Kemacetan dan keramaian di gunung merupakan salah satu dampak dari kejadian sistematis tersebut.
    Penyebab kemacetan lalu lintas antara lain karena lemahnya pengaturan lampu lalu lintas, banyaknya persimpangan jalan, meningkatnya volume kendaraan, kondisi jalan, musim, dan lain - lain. Kurang lebih jika dilihat dari 3 kasus yang diantaranya 1 kasus internasional dan 2 kasus nasional (dalam negeri), penyebab kemacetan di gunung kurang lebih sama. Dan yang paling lemah adalah kurangnya kontrol dari aparat yang berwenang dalam mengatur human traffic, yang dalam hal ini adalah pengelola pos gunung. Jika pengawasan dan pengendalian kuota pendakian dapat dilakukan dengan maksimal, maka sekiranya hal - hal yang menjadi penyebab kemacetan di gunung seperti meningkatnya jumlah manusia di jalur pendakian, kondisi jalan yang sempit, cuaca yang cenderung berubah - ubah sehingga mengganggu kecepatan berjalan dapat diatasi.
    Jika keadaan seperti keramaian dan kemacetan di gunung ini terus menerus terjadi, besar kemungkinan di kemudian hari akan menjadi kegiatan yang kurang kondusif dilakukan di alam liar. Tak ubahnya seperti di kota, keramaian tetap yang ditemui. Padahal mendaki gunung merupakan salah satu sarana untuk menyepi, menenangkan diri, menstimulasi otak agar menjadi lebih segar, dan merupakan perjalanan spiritual. Harapan agar gunung menjadi sepi kembali tentu bukan kabar baik bagi sebagian orang, khususnya yang sehari - harinya bermata pencaharian di bidang ini. 
    Namun saya harap seiring berjalannya waktu, gunung kembali menjadi tempat yang sepi dan kegiatan pendakian gunung menjadi kegiatan yang lebih bisa memberi manfaat. Karena jika terdapat banyak ketidak kondusifan selama perjalanan, pengalaman yang katanya berharga ketika mendaki gunung itu rasanya kehiangan maknanya. Dan pertanyaan orang yang dahulu sulit dijawab, kini menjadi pertanyaan yang membingungkan kembali, yaitu untuk apa mendaki? jika jawabannya mencari pengalaman, apakah dengan kondisi saat ini akan mendapat pengalaman yang diinginkan? padahal dimulai keluar rumah hingga kembali kerumah, kita sedang membeli pengalaman itu dengan cara menjemputnya. Sekian kiranya keresahan saya mengenai kemacetan dan keramaian di gunung saat ini, maaf jika ada beberapa pihak merasa tersinggung. Saya hanya tetap ingin menikmati alam pegunungan dengan tenang dan nyaman. Salam lestari !
    

Komentar